MANDI
1.
Pengertian dan Dasar Hukum Mandi
Secara
bahasa mandi (al-ghusl) berarti
mengalirkan air ke segala sesuatu secara mutlak” (saylan al-ma’ ‘ala
al-shay’ muthlaqa.[1]
Sedangkan secara istilah:
- Menurut
al-Zuhayli : Mengalirkan air ke
seluruh bagian tubuh dengan cara tertentu (ifadlat al-Ma’ al-thahur ‘ala jami’
al-badan ‘ala wajh makshush)[2]
- Syafi’iyah : Mengalirkan air keseluruh tubuh disertai dengan
niat. (saylan al-ma’ ala jami’ al-badan ma’ a al-niyah)[3]
Sedangkan
dasar pelaksanaan mandi adalah Qs. Al-Ma’idah (5) : 6:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah…
2.
Hal-Hal
Yang Mewajibkan Mandi
- Bersetubuh, meskipun tidak
sampai keluar mani; yakni masuknya penis (dzakar) ke dalam vagina (farji).[4]
Meskipun yang melakukan belum baligh (menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah),
karena mandi junub tidak disyaratkan harus mukallaf. Tetapi menurut
Hanafiyyah dan Malikiyyah, mandi junub disyaratkan harus mukallaf,
sehingga kalau anak kecil junub tidak wajib mandi.
Hal
tersebut berdasarkan sabda Nabi saw yang bersumber dari A’isyah:
إذا التقى الختانان وجب الغسل فعلته انا و رسول الله صلى الله عليه
و سلم فاغتسلنا
Apabila bertemu dua (bekas) khitan
(penis dan vagina), maka telah wajib mandi (meskipun) tidak keluar mani, saya
melakukan hal itu bersama Rasulullah, kemudian kami mandi
- Keluar mani baik dari
laki-laki maupun perempuan yang
disertai rasa nikmat[5],
disaat tertidur maupun tidak, dengan aktivitas seksual langsung maupun
hanya mengimajinasikan, dengan manusia hidup maupun yang sudah mati,
bahkan dengan binatang[6],
sesuai hadits Ali RA yang diriwayatkan Ahmad, Ibnu Majah, dan
al-Turmudzi:
كنت رجلا مذاء فسألت النبي صلى الله عليه وسلم فقال: فى المذي الوضوء
وفى المني الغسل
Saya
seseorang yang selalu mengelurkan madzi, aku bertanya pada Nabi saw tentang hal
tersebut, dan Nabi menjawab: Air Madzi menyebabkan wudlu, dan air mani
menyebabkan mandi[7]
- Berhentinya darah haid,
sebagaimana hadits:
إذا أقبلت الحيضة فدعى الصلاة و اذا ادبرت فاغتسلي و صلى
Apabila haid datang, maka tinggalkanlah
shalat, dan jika telah berhenti mandilan kemudian lakukan shalat.
Sedangkan berhentinya darah nifas, yaitu darah
yang keluar setelah melahirkan, menurut
kesepakatan ulama wajib mandi karena diqiyaskan pada darah haid. Padaha kekatnya
darah nifas itu merupakan darah nifas yang tertahan di rahim perempuan selama
mengandung.[8]
Berhentinya darah haid dan nifas
mewajibkan mandi, juga didasarkan pada firman Allah:
فاذاتطهرت فأتوهن
- Melahirkan (wiladah).
Menurut
Jumhur (kecuali Hanabilah), perempuan yang melahirkan diwajibkan mandi, meskipun
ketika melahirkan tidak ada darahnya dan tidak terlihat ada cairan.
Menurut Syafi’iyyah, hal itu karena
anak yang dilahirkan meskipun belum sempurna adalah mani yang terbentuk
sehingga wajib mandi.
Tetapi
menurut Hanabilah, tidak wajib mandi bagi perempuan yang melakhirkan
apabila tidak ada darahnya, karena tidak ditemukan Nash/dalil yang menjelaskan
hal tersebut. Begitu juga tidak wajib mandi jika yang lahir belum sempurna
(gumpalan darah atau daging), karena hal itu bukan disebut melahirkan (wiladah).
Anak yang lahir itu suci, yang mewajibkan mandi itu jika disertai darah.[9]
- Mati, kecuali mati syahid.
Hal tersebut di dasarkan pada suatu hadits bahwa ada orang yang jatuh dari
unta kemudian meninggal dunia, kemudian Nabi bersabda:
إغسلوه
بماء و سدر
Mandikanlah
ia dengan air dan dengan wangi-wangian[10]
f.
Orang
kafir yang masuk Islam, menurut Hanabilah dan Malikiyyah. Berdasarkan hadits
Qais bin ‘Ashim:
أنه أسلم وأمر النبي صلى الله عليه وسلم أن يغتسل بماء و سدر
Tetapi menurut Hanafiyyah dan Syafi’iyyah,
orang kafir yang masuk Islam tidak wajib mandi, kecuali jika dia junub. Kalau
tidak berjunub tidak wajib mandi, cukup wudlu saja.
3. Rukun-Rukun Mandi
a.
Niat.
Jumhur
(selain Hanafiyah mewajibkan niat, sama dengan pembahasan niat dalam wudlu).
Adapaun niat yang dianggap sah adalah antara lain:
1). Niat melakukan kefarduan mandi (nawaytu
fardl al-ghusl)
2). Niat menhilangkan hadath
besar/jinabah (nawaytu raf’a al-jinabah/ nawaytu raf’a al-hadats al-akbar)
3). Niat supaya diperbolehkan melakukan sesuatu
yang membutuhkan mandi seperti. Niat adar dibolehkan melaksanakan shalat, tawaf
dan sebagainya.
Letaknya
niat adalah berbarengan dengan awal kegiatan membasuh badan, baik dari atas
dulu atau bawah dulu. Karena dalam mandi tidak diwajibkan tartib.[11]
b.
Menghilangkan
najis
Jika
najisnya berupa najis hukmiyah, maka cukup membasuhnya bersamaan dengan
membasuh anggota mandi. Dan bila najisnya berupa najis ainiyah, maka
wajib dibasuh tersendiri, bukan menyatu dengan basuhan mandi.[12]
c.
Meratakan
air ke seluruh tubuh
Bagian
yang harus dikenai air adalah:
1). Seluruh kulit
2). Semua rambut[13]
Wajib
membasuh seluruh tubuh yang mungkin untuk dibasuh tanpa kesulitan, seperti
telinga, pusar, jenggot bagian dalam, rambut kepala, bagian luar farji. Tidak
wajib membasuh bagian yang sulit, seperti dalamnya mata, bagian dalam qulfah.
d.
Berkumur
dan menghirup air kedalam hidung (Hanafiyah dan Hanabilah) sedangkan menurut
Malikiyah dan Syafi’iyah, hanya sunnah.
e. Muwalah (beruntun) d\an al-dalk (mengosok-gosok anggota yang
dibasuh). Demikian menurut Malikiyah. Sedangkan Jumhur (selain Malikiyah) tidak
mewajibkan.[14]
4. Sunnah-Sunnah Mandi
a.
Membaca
Basmalah
b.
Membasuh
kedua tangan sebelum memasukkannya ke dalam tempat air.
c.
Berwudlu
sengan sempurna sebelum melaksanakan mandi, sesuai hadits yang diriwayatkan
oleh A’isyah:
كان
رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا اغتسل من الجنابة توضأ وضوءَه للصلاة
Bila Nabi saw hendak melaksanakan
mandi dari jinabah (hadats besar), beliau berwudlu terlebih dulu sebagaimana
belaiu berwudlu ketika akan melaksanakan shalat
d.
Mengalirkan
air ke kepala dan seluruh tubuh tiga kali
e.
Mendahulukan
bagian kanan.
f.
Tertib
dari kepala, lalu melanjutkan tubuh bagian kanan, lalu kiri. Tertib tidak
diwajibkan pada saat mandi, karena tubuh merupaka satu kesatuan. Berbeda dengan
anggota wudlu.
g.
Beruntun(muwalah)
menurut selain Malikiyah.[15]
5. Mandi-Mandi Yang di sunnahkan
a.
Mandi
ketika akan melaksanakan Shalat jum’at
b.
Mandi
ketika akan melaksanakan Shalat dua hari
raya
c.
Mandi
ketika akan melaksanakan Ihram baik untuk haji maupun umrah
d.
Mandi
ketika akan melaksanakan Wuquf
e.
Mandi
ketika akan melaksanakan Tawaf
f.
Mandi
ketika akan melaksanakan Bermalam di Muzdalifah
g.
Mandi
ketika akan melaksanakan Memasuki Makkah
h.
Mandi
ketika akan melaksanakan Melempar jumrah
i.
Mandi
ketika akan melaksanakan Shalat Gerhana (bulan maupun matahari)
j.
Mandi
ketika akan melaksanakan Sehabis memandian mayit.
k.
Mandi
ketika akan melaksanakan Sehat dari penyakit gila, epilepsy, mabuk[16]
[1] Al-Zuhayli, al-Fiqh
al-Islami, vol.1, 358.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Dalam masalah ini muncul
berbagai masalah antara lain:
·
Wajib
mandikah bila menyetubuhi binatang dan juga menyetubuhi mayyit?. Menurut jumhur
wajib. Sedangan menurut Hanafiyah tidak.
·
Wajib
mandikah jika dalam bersetubuh memakai ha’il (baca: kondom)?. Menurut
Syafi’iyah dan Malikiyah wajib. Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanabiah tidak,
kecuali keluar mani.
·
Malikiyah
mensyaratkan bahwa wajib mandi bila alat kelamin laki2 benar-benar masuk dan
bersinggungan dng farji. Jika hanya menyentuh bibirnya saja (tidak
masuk), atau disebabkan sangat lebarnya farji perempuan sehingga ketika dhakar
dimasukkan sama sekali tidak menyentuh, atau parktek lesbian maka tidak wajib
mandi.
·
[5] Ini pendapat Jumhur. Kecuali Syafi’iyyah
yang menyatakan bahwa wajib mandi setelah keluar mani, baik disertai syahwat
maupun tidak, keluarnya dengan cara yang lumrah atau tidak misalkan karena
pecahnya tulang shulbi yang menyebabkan keluar mani maka tidak wajib
mandi, Tetapi jika keluarnya mani itu karena sakit, maka tidak wajib mandi.
Hanabilah,
Hanafiyyah, Malikiyyah berpendapat,
yang mewajibkan mandi, jika mani itu keluarnya memancar, disertai nikmat, di
saat tidur maupun terjaga. Air mani yang keluar tidak disertai rasa nikmat
misalkan keluar sendiri karena sakit, dingin, tulang belakang yang pecah, mani
yang beser, maka tidak wajib mandi hanya cukup wudlu. Al-Zuhayli, al-Fiqh
al-Islami, vol.1, 360-361..
Mani
adalah air kental yang keluarnya memancar, rasa lezat ketika kelaur, baunya
seperti adunan gandum ketika basah atau seperti bau putih telur setelah kering.
Sementara maninya perempuan berwarna kekuning-kuningan yang transparan dan
encer. Al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami, vol.1, 360.
[6] Ini pendapat Jumhur, kecuali Hanafiyyah
yang tidak mewajibkan mandi setelah bersetubuh dengan mayitm binatang dan anak
kecil. Al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami, vol.1, 360.
[8] Ibid, 365.
[10] Ibid.
[11]
Al-Zuhayli, al-Fiqh
al-Islami, vol.1, 373.
[12] Ibn Qasim al-Ghazi, Fath
al-Qarib, 7.
[13] Rambut panjang yang disanggul,
kalau sekiranya air tidak bisa masuk ke bagian dalam, maka harus diurai.
[14] Al-Zuhayli, al-Fiqh
al-Islami, vol.1, 368-380.
[15] Ibid., 375.
[16] Ibid., 386.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar