Rabu, 16 November 2016

thaharah bab mandi

MANDI

1.      Pengertian  dan Dasar Hukum Mandi
Secara bahasa mandi (al-ghusl)  berarti mengalirkan air ke segala sesuatu secara mutlak” (saylan al-ma’ ‘ala al-shay’ muthlaqa.[1] Sedangkan secara istilah:
  1. Menurut al-Zuhayli     : Mengalirkan air ke seluruh bagian tubuh dengan cara tertentu   (ifadlat al-Ma’ al-thahur ‘ala jami’ al-badan ‘ala wajh makshush)[2]
  2. Syafi’iyah   : Mengalirkan  air keseluruh tubuh disertai dengan niat. (saylan al-ma’ ala jami’ al-badan ma’ a al-niyah)[3]
Sedangkan dasar pelaksanaan mandi adalah Qs. Al-Ma’idah (5) : 6:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا                             
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah

2.      Hal-Hal Yang Mewajibkan Mandi
  1. Bersetubuh, meskipun tidak sampai keluar mani; yakni masuknya penis (dzakar) ke dalam vagina (farji).[4] Meskipun yang melakukan belum baligh (menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah), karena mandi junub tidak disyaratkan harus mukallaf. Tetapi menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah, mandi junub disyaratkan harus mukallaf, sehingga kalau anak kecil junub tidak wajib mandi.
Hal tersebut berdasarkan sabda Nabi saw yang bersumber dari A’isyah:
إذا التقى الختانان وجب الغسل فعلته انا و رسول الله صلى الله عليه و سلم فاغتسلنا
Apabila bertemu dua (bekas) khitan (penis dan vagina), maka telah wajib mandi (meskipun) tidak keluar mani, saya melakukan hal itu bersama Rasulullah, kemudian kami mandi

  1. Keluar mani baik dari laki-laki maupun perempuan yang disertai rasa nikmat[5], disaat tertidur maupun tidak, dengan aktivitas seksual langsung maupun hanya mengimajinasikan, dengan manusia hidup maupun yang sudah mati, bahkan dengan binatang[6], sesuai hadits Ali RA yang   diriwayatkan Ahmad, Ibnu Majah, dan al-Turmudzi:
كنت رجلا مذاء فسألت النبي صلى الله عليه وسلم فقال: فى المذي الوضوء وفى المني الغسل
          Saya seseorang yang selalu mengelurkan madzi, aku bertanya pada Nabi saw tentang hal tersebut, dan Nabi menjawab: Air Madzi menyebabkan wudlu, dan air mani menyebabkan mandi[7]

  1. Berhentinya darah haid, sebagaimana hadits:
إذا أقبلت الحيضة فدعى الصلاة و اذا ادبرت فاغتسلي و صلى
 Apabila haid datang, maka tinggalkanlah shalat, dan jika telah berhenti mandilan kemudian lakukan shalat.

Sedangkan berhentinya darah nifas, yaitu darah yang keluar setelah  melahirkan, menurut kesepakatan ulama wajib mandi karena diqiyaskan pada darah haid. Padaha kekatnya darah nifas itu merupakan darah nifas yang tertahan di rahim perempuan selama mengandung.[8]
Berhentinya darah haid dan nifas mewajibkan mandi, juga didasarkan pada firman Allah:
فاذاتطهرت فأتوهن

  1. Melahirkan (wiladah).
Menurut Jumhur (kecuali Hanabilah), perempuan yang melahirkan diwajibkan mandi, meskipun ketika melahirkan tidak ada darahnya dan tidak terlihat ada cairan.
 Menurut Syafi’iyyah, hal itu karena anak yang dilahirkan meskipun belum sempurna adalah mani yang terbentuk sehingga wajib mandi.
Tetapi menurut Hanabilah, tidak wajib mandi bagi perempuan yang melakhirkan apabila tidak ada darahnya, karena tidak ditemukan Nash/dalil yang menjelaskan hal tersebut. Begitu juga tidak wajib mandi jika yang lahir belum sempurna (gumpalan darah atau daging), karena hal itu bukan disebut melahirkan (wiladah). Anak yang lahir itu suci, yang mewajibkan mandi itu jika disertai darah.[9]

  1. Mati, kecuali mati syahid. Hal tersebut di dasarkan pada suatu hadits bahwa ada orang yang jatuh dari unta kemudian meninggal dunia, kemudian Nabi bersabda:
إغسلوه بماء و سدر
Mandikanlah ia dengan air dan dengan wangi-wangian[10]

f.      Orang kafir yang masuk Islam, menurut Hanabilah dan Malikiyyah. Berdasarkan hadits Qais bin ‘Ashim:
أنه أسلم وأمر النبي صلى الله عليه وسلم أن يغتسل بماء و سدر
Tetapi menurut Hanafiyyah dan Syafi’iyyah, orang kafir yang masuk Islam tidak wajib mandi, kecuali jika dia junub. Kalau tidak berjunub tidak wajib mandi, cukup wudlu saja.

3.      Rukun-Rukun Mandi
a.     Niat.
Jumhur (selain Hanafiyah mewajibkan niat, sama dengan pembahasan niat dalam wudlu). Adapaun niat yang dianggap sah adalah antara lain:
1).      Niat melakukan kefarduan mandi (nawaytu fardl al-ghusl)
2).      Niat menhilangkan hadath besar/jinabah (nawaytu raf’a al-jinabah/ nawaytu raf’a al-hadats al-akbar)
3).       Niat supaya diperbolehkan melakukan sesuatu yang membutuhkan mandi seperti. Niat adar dibolehkan melaksanakan shalat, tawaf dan sebagainya.
Letaknya niat adalah berbarengan dengan awal kegiatan membasuh badan, baik dari atas dulu atau bawah dulu. Karena dalam mandi tidak diwajibkan tartib.[11]


b.    Menghilangkan najis
Jika najisnya berupa najis hukmiyah, maka cukup membasuhnya bersamaan dengan membasuh anggota mandi. Dan bila najisnya berupa najis ainiyah, maka wajib dibasuh tersendiri, bukan menyatu dengan basuhan mandi.[12]

c.     Meratakan air ke seluruh tubuh
Bagian yang harus dikenai air adalah:
1).      Seluruh kulit
2).      Semua rambut[13]
Wajib membasuh seluruh tubuh yang mungkin untuk dibasuh tanpa kesulitan, seperti telinga, pusar, jenggot bagian dalam, rambut kepala, bagian luar farji. Tidak wajib membasuh bagian yang sulit, seperti dalamnya mata, bagian dalam qulfah.

d.      Berkumur dan menghirup air kedalam hidung (Hanafiyah dan Hanabilah) sedangkan menurut Malikiyah dan Syafi’iyah, hanya sunnah.

e.       Muwalah  (beruntun) d\an  al-dalk (mengosok-gosok anggota yang dibasuh). Demikian menurut Malikiyah. Sedangkan Jumhur (selain Malikiyah) tidak mewajibkan.[14]

4.      Sunnah-Sunnah Mandi
a.       Membaca Basmalah
b.      Membasuh kedua tangan sebelum memasukkannya ke dalam tempat air.
c.       Berwudlu sengan sempurna sebelum melaksanakan mandi, sesuai hadits yang diriwayatkan oleh A’isyah:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا اغتسل من الجنابة توضأ وضوءَه للصلاة
Bila Nabi saw hendak melaksanakan mandi dari jinabah (hadats besar), beliau berwudlu terlebih dulu sebagaimana belaiu berwudlu ketika akan melaksanakan shalat

d.      Mengalirkan air ke kepala dan seluruh tubuh tiga kali
e.       Mendahulukan bagian kanan.
f.       Tertib dari kepala, lalu melanjutkan tubuh bagian kanan, lalu kiri. Tertib tidak diwajibkan pada saat mandi, karena tubuh merupaka satu kesatuan. Berbeda dengan anggota wudlu.
g.      Beruntun(muwalah) menurut selain Malikiyah.[15]

5.      Mandi-Mandi  Yang di sunnahkan
a.       Mandi ketika akan melaksanakan Shalat jum’at
b.      Mandi ketika akan melaksanakan Shalat  dua hari raya
c.       Mandi ketika akan melaksanakan Ihram baik untuk haji maupun umrah
d.      Mandi ketika akan melaksanakan Wuquf
e.       Mandi ketika akan melaksanakan Tawaf
f.       Mandi ketika akan melaksanakan Bermalam di Muzdalifah
g.      Mandi ketika akan melaksanakan Memasuki Makkah
h.      Mandi ketika akan melaksanakan Melempar jumrah
i.        Mandi ketika akan melaksanakan Shalat Gerhana (bulan maupun matahari)
j.        Mandi ketika akan melaksanakan Sehabis memandian mayit.
k.      Mandi ketika akan melaksanakan Sehat dari penyakit gila, epilepsy, mabuk[16]






















[1] Al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami, vol.1,  358.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Dalam masalah ini muncul berbagai masalah antara lain:
·       Wajib mandikah bila menyetubuhi binatang dan juga menyetubuhi mayyit?. Menurut jumhur wajib. Sedangan menurut Hanafiyah tidak.
·         Wajib mandikah jika dalam bersetubuh memakai ha’il (baca: kondom)?. Menurut Syafi’iyah dan Malikiyah wajib. Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanabiah tidak, kecuali keluar mani.
·         Malikiyah mensyaratkan bahwa wajib mandi bila alat kelamin laki2 benar-benar masuk dan bersinggungan dng farji. Jika hanya menyentuh bibirnya saja (tidak masuk), atau disebabkan sangat lebarnya farji perempuan sehingga ketika dhakar dimasukkan sama sekali tidak menyentuh, atau parktek lesbian maka tidak wajib mandi.
·          
[5] Ini pendapat Jumhur. Kecuali Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa wajib mandi setelah keluar mani, baik disertai syahwat maupun tidak, keluarnya dengan cara yang lumrah atau tidak misalkan karena pecahnya tulang shulbi yang menyebabkan keluar mani maka tidak wajib mandi, Tetapi jika keluarnya mani itu karena sakit, maka tidak wajib mandi.
Hanabilah, Hanafiyyah, Malikiyyah berpendapat, yang mewajibkan mandi, jika mani itu keluarnya memancar, disertai nikmat, di saat tidur maupun terjaga. Air mani yang keluar tidak disertai rasa nikmat misalkan keluar sendiri karena sakit, dingin, tulang belakang yang pecah, mani yang beser, maka tidak wajib mandi hanya cukup wudlu. Al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami, vol.1,  360-361..
Mani adalah air kental yang keluarnya memancar, rasa lezat ketika kelaur, baunya seperti adunan gandum ketika basah atau seperti bau putih telur setelah kering. Sementara maninya perempuan berwarna kekuning-kuningan yang transparan dan encer. Al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami, vol.1,  360.
[6] Ini pendapat Jumhur, kecuali Hanafiyyah yang tidak mewajibkan mandi setelah bersetubuh dengan mayitm binatang dan anak kecil. Al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami, vol.1,  360.
[7] Al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami, vol.1,  362.
[8] Ibid, 365.
[9] Ibid,  366.
[10] Ibid.
[11] Al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami, vol.1,  373.
[12] Ibn Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib, 7.
[13] Rambut panjang yang disanggul, kalau sekiranya air tidak bisa masuk ke bagian dalam, maka harus diurai.

[14] Al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami, vol.1,  368-380.
[15] Ibid., 375.
[16] Ibid., 386.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar