BAB I
PENDAHULUAN
I.
LATAR BELAKANG
Menurut Harun Nasution, bangsa Arab
yang pada waktu itu bersifat serba sederhana dan jauh dari pengetahuan,
terpaksa menyesuaikan hidup mereka dengan suasana padang pasir, dengan panasnya
yang terik serta tanah dan gunungnya gundul. dalam dunia yang demikian , mereka
tidak banyak melihat jalan untuk merubah keadaan sekeliling mereka sesuai
dengan keinginan mereka sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari mereka
banyak tergantung pada kehendak natur. Hal ini membawa mereka pada sikap
fatalistis,
Aliran dari
Khowarij dan Murjiah mengemukakan pendapatnya tentang posisi dosa besar.
Mu’tazilah yang memposisikan tengah-tengah antara mukmin dan kafir. Namun,
banyak pandangan Mu’tazilah yang belum dirumuskan, sehingga muncullah aliran
Asy’ariyah. Dan pada makalah ini akan kami bahas tentang aliran Asy’ariyah.
II. RUMUSAN
MASALAH
1.
Pengertian Asy’ariyah
2.
Tokoh-tokoh dan Pemikirannya
3. Tentang Hukum Kausalitas
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Asy’ariyah
Asy’ariyah
berasal dari nama tokoh pendirinya Abu al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy’ari,
lahir di Basrah 260 H/873 M dan wafad di Baghdad 324 H/935 M. pada mulanya ia
adalah murid Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubbai, seorang pemuka
terkenal Mu’tazilah. Tapi ketika berumur 40 tahun, ia menyatakan diri
meninggalkan ajaran Mu’tazilah.[1]
Setelah
keluar dari Mu’tazilah, Al-Asyari meletakkan dasar-dasar bagi suatu madzhab
baru dengan mengambil posisi antara ekstrem rasionalis (Mu’tazilah) yang
mengakui keunggulan akal dan menimbang semua pernyataan, kepercayaan dan dogma
agama melalui neraca akal dan golongan ektrem tekstualis (hanya berdasar pada
teks-teks suci dengan pemahaman harfiah). Karena mengambil jalan tengah,
sehingga perumusan dogma Al-Asyari pada intinya menyuguhkan suatu usaha untuk
membuat sintesa antara pandangan ortodoks yang waktu itu belum dirumuskan,
dengan pandangan Mu’tazilah. Namun, perumusan Al-Asy’ari kadang merupakan reaksi
atas Mu’tazilah. Karenanya, hasilnya setengah sintesa setengah reaksi.
Paham
Asy’ariyah ini dalam sejarah tercatat sebagai satu-satunya paham yang paling
luas menyebar di dunia Islam. Sehingga bisa dikatakan bahwa Al-Asy’ari adalah
seorang pemikir Islam klasik yang paling sukses. Adapun kesuksesan dari
reformasi Al-Asy’ari ini dalam deretan perkembangan pemikiran Islam sebagai
yang terpanjang, bukan saja karena karya-karya intelektual Al-Asy’ari, tetapi
juga karena andil dari tokoh-tokoh yang datang sesudahnya, dengan corak
pemikirannya masing-masing telah mengembangkan dan memperkaya dukungan bagi
paham teologi yang kemudian disebut dengan paham Asy’ariyah.[2]
Doktrin-doktrin al-Asy’ari
yang terpenting adalah :
Pertama,
Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Perbedaan pendapat di kalangan mutakalimin mengenai
sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan
Allah adalah wajib. Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu
pihak, ia berhadapan dengan kelompok sifatiah (pemberi sifat),
kelompok Mujassimah (antropomorsis), dan kelompok musyabbihah
yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam
AlQur’an dan Sunnah dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya.
Di lain pihak, ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa
sifat-sifat Allah tidak lain selain essensi-Nya. Tangan, kaki, telinga Allah,
‘arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan harus
dijelaskan secara alegoris. Menghadapi dua kelompok yang berbeda tersebut, Al-Asy’ari berpendapat ,
melainkan secara simbolis (kontra dengan kelompok sifatiah). Selanjutnya ia
berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan
dengan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah
berbeda dengan Allah sendiri, tetapi-sejauh menyangkut realitasnya (hakikah)-
tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian tidak berbeda dengan-Nya. Kedua,
Kekuasaan Tuhan atas perbuatan manusia. Al-Asy’ari memiliki paham dan keyakinan
yang ditafsirkan banyak kalangan condong ke paham Jabariyah mengenai
kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan. Dia berpandangan bahwa kehendak Tuhan
tidak tunduk kepada siapapun. Apa saja yang dikehendaki Tuhan, itulah yang ada,
dan apa yang ada, itulah yang dikehendakinya. Di atas Tuhan tidak ada sesuatu
apapun yang dapat membuat hukum dan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh
diperbuat Tuhan, karena Dia adalah Raja yang Maha Memaksa, bagiNya tidak ada
batasan apapun yang bisa membatasiNya. Asy’ariyah mendasarkan pandangannya atas
beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya adalah :
والله خلقكم وماتعملون (الصافات : 26)
Ayat ini mengandung arti : “Allah menciptakan kamu dan
perbuatan-perbuatan kamu”. Maka perbuatan manusia diciptakan Allah. Begitu
pula dengan ayat yang lain:
وما تشا ؤون الاأن يشاءالله (الانسان : 30)
Ayat di atas berimplikasi bahwa kehendak
manusia adalah satu dengan kehendak Tuhan, dan bahwa kehendak yang ada dalam
diri manusia, sebenarnya tidak lain adalah kehendak Tuhan. Selanjutnya
untuk mengambarkan hubungan antara perbuatan manusia dengan kehendak dan
kekuasaan Tuhan, al-Asy’ari mengemukakan teori “kasb” yang oleh kebanyakan ahli
ilmu kalam dirasakan sulit untuk dipahami. Asy’ari menjelaskan arti kasb
sebagai sesuatu yang terjadi dari muktasib(yang memperoleh) dengan perantaraan
daya yang diciptakan (qudrah haditsah). Makna kasb di sini
bererti perolehan. Dalam Maqalat al-Islamiyyyin disebutkan kata iktishab
memberi makna bahwa sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diccipatkan
dan dengan demikian menjadi kasb (perolehan) bagi orang yang dari dayanya
perbuatan itu timbul. Pada prinsipnya
Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh Allah. Daya
manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya, tetapi yang berlaku adalah
bahwa Allah menciptakan perbuatan untuk menusia dan menciptakan pula pada
diri manusia daya untuk melahirkan perbuatan-perbuatan tersebut. Jadi
perbuatan-perbuatan di sini adalah ciptaan Allah dan merupakan kasb
(perolehan) bagi manusia. Dengan begitu kasb mempunyai pengertian
penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang hadits. Dan ini
berimplikasi bahwa perbuata manusia dibarengi dengan daya dan kehendakNya
dan bukan atas daya dan kehendak manusia itu sendiri. Dari sini dapat disimpulkan bahwa fa’il (pelaku) sebenarnya
suatu perbuatan manusia adalah Allah dan manusia merupakan wadah bagi fi’il
(perbuatan) yang disebut kasb. Namun demikian karena dia juga
berdaya dan mempunyai kehendak yang ditujukan untuk mewujudkan kasb
ini, maka bisa saja menisbastkan perbuatan kepada manusia. Hanya saja,
yang perlu dicermati adalah adanya pandangan bahwa daya dan kehendak itu tidak
berpotensi untuk menjadi pencipta atau pelaku. Ia hanya merupakan penyerta bagi
perbuatan Tuhan dan wujudnya menjadi kasb. Oleh karena itu tidak bisa
tidak, perbuatan manusia harus diletakkan dalam kerangka kemutlakan kekuasaan
dan kehendak Tuhan. Tampaknya, Aliran Asy’ariyah muncul dengan teori kasbnya untuk
menengahi pertentangan antara Qadariyah dan Jabariyah dengan menyatakan bahwa
manusia wajib berusaha, namun disandarkan bahwa usaha manusia itu tidak dapat
berpengaruh terhadap jalan kehidupannya yang telah ditentukan Tuhan. Namun
demikian, ini tidak selalu harus diinterpretasikan sebagai suatu tanda fatalistis.
Mungkin saja yang dimaksudkan oleh pernyataan tersebut ialah apapun yang
dilakukan manusisa tidak akan melampaui ketentuan sunnatullah, yaitu
hukum alam ciptaan Tuhan dan hal ini hanya tepat untuk analisis tingkat Tuhan,
tetapi tidak tepat untuk analisis tingkat manusia. Bila dibawa ke pikiran
manusia, maka faham yang demikian itu mungkin akan berakhir dengan
anggapan bahwa konsep Asy’ariyah tidak percaya pada hukum alam dan
kausalitas. Apalagi di kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, dikenalkan adanya
rukun iman yang ke-6, yaitu percaya kepada qadla dan qadar
Tuhan, hal ini menambah anggapan bahwa paham Asy’ariyah adalah falatistik
dan Jabariyah.
Ketiga, akal dan wahyu
serta kreteria baik dan buruk. Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah
mengakui pentingnya akal dan wahyu, keduanya berbeda dalam menghadapi persoalan
yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari
mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan menggunakan rasio. Dalam
menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka.
Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan
Mu’tazilah berdasarkan pada rasio. Keempat, qadimnya al-Qur’an. Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim
dalam persoalan qadimnya al-Qur’an, yaitu pandangan Mu’tazilah bahwa
Al-Qur’an diciptakan (makhluk) sehingga tidak qadim dan pandangan
mazhab Hambali dan Zahiriah yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah Kalam
Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Bahkan Zahiriah berpendapat
bahwa semua huruf, kata, dan bunyi al-Qur’an adalah qadim. Untuk
mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, dalam teori
Al-Asy’ari al-Qur’an bukan makhluk sebagaimana dalam konsep teologi Mu’tazilah,
melainkan kalam Allah yang qadim. al-Qur’an yang qadim itu tidak
mempunyai huruf dan suara. Kelima,
melihat Allah. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodok
ekstrim, terutama Zahiriah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat
dan Allah bersemayam di Arsy. Selain itu, Al-Asy’ari juga tidak
sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari rukyatullah (melihat Allah) di
akhirat. Al-Asy’ari yakin dapat bahwa Alah dapat di lihat di akhirat, tetapi
tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah
sendiri yang menyebabkan Dia dapat di lihat atau bilamana Ia menciptakan
kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya. Keenam, keadilan. Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah
setuju bahwa Allah itu Adil. Namun mereka berbeda dalam cara pandang makna
keadilan Tuhan. Al-Asyari tidak sependapat dengan ajaran Mu’tazilah yang
mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Ia harus menyiksa orang yang
salah dan berpendapat bahwa Allah tidak memiliki keharusan apapun karena Ia
adalah Penguasa Mutlak. Jika Mu’tazilah mengartikan keadilan dari
visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah
adalah pemilik mutlak. Ketujuh, kedudukan orang
berdosa. Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah.
Mengingat kenyataan iman merupakan lawan kufr, predikat seseorang
haruslah satu di antaranya. Jika tidak mukmin dia kafir. Oleh karena itu,
Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang
fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.[3]
2.
Perkembangan Aliran Asy’ariyah dan Tokoh-Tokohnya
Al-Asy’ari berupaya mengambil jalan tengah
antara dua kubu yang dipandangnya menjunjung akal secara berlebihan
(rasionalis) dan aliran tekstualis. Kita melihat Al-Asy’ari mendasarkan
ajaran-ajarannya pada dalil naqli dan dan dalil aqli. Ia menetapkan apa
yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits, menyangkut persoalan aqidah, seperti
sifat-sifat Allah, hari akhirat, malaikat, hisab, siksa, pahala, kemudian
mendapatkan dalil akal dan penjelasan logis, dan berdalil dengannya untuk
kebenaran yang datang dari al-Qur’an dan Hadis itu. Ia tidak menggunakan akal
sebagai hakim atas nash-nash dengan cara mentakwilkan ayat, namun
menggunakan akal untuk membantu makna apa yan dikehendaki oleh zhahir
nash-nash tersebut. Setelah
Imam Al-Asy’ari meninggal, ajarannya mengalami perkembangan dan kemajuan. Tidak
seperti pada masa awal pertumbuhannya, pada perkembangan selanjutnya tampak
lebih mendahulukan penafsiran akal daripada nash. Ada dua tokoh Asy’ariyah
setelah al-Asy’ari sendiri yang berusaha untuk merasionalkan
pandangan-pandangan al-Asy’ariyah sehubungan dengan perbuatan manusia. Yang
pertama adalah Ibnu Qasim al-Baqillani, yang dilahirkan di Bashrah dan
meninggal di Bagdad sekitar tahun 403 H /1013 M dan yang kedua adalah Abdul
Malik al-Juwaini al-Naisaburi (419 H/1028 M-478H/1085 M). Al-Baqillani dianggap melangkah lebih jauh dari Asy’ari. Kalau
Asy’ari menganggap perbuatan manusia itu diciptakan Tuhan seluruhnya, sehinga
daya yang diciptakan Tuhan pada manusia sama sekali tidak dipahami sebagai daya
yang efektif, maka al-Baqilani berpendapat, manusia mempunyai peranan yang
efektif dalam mewujudkan perbuatannya. Ia menggunakan istilah genus
atau al-Jinsu untuk semua gerak perbuatan yang diciptakan Tuhan dan
memaki istilah espece atau al-Nau’u untuk gerakan yang
mengambil bentuk, seperti berdiri, duduk, berjalan, berbaring dan
sebagainyayang merupakan ciptaan manusia sendiri. Dengan kata lain, gerak
mutlak diciptakan Tuhan, sedangkan gerak dalam contoh berdiri, duduk dan
semacamnya merupakan perbuatan yang efektif dan diciptakan oleh manusia dan
inilah yang dimaksudnya sebagai kasb. Al-Baqillani juga membedakan antara
khlq dan kasb. Khlaq merupakan penciptaan perbuatan
dari tiada menjadi ada, sedangkan kasb adalah penciptaan perbuatan
dari iradat yang sudah diciptakan Allah. Khalq adalah perbuatan Allah,
sementara kasb adalah perbuatan manusia. Dengan demikian, kasb dalam
pemahaman al-Baqillani berperan dan memberi bekas secara efektif bagi
perbuatan-perbuatan manusia, sekalipun berasal dari daya yang diciptakan Tuhan. Abdul Malik al-Juwaini al-Naisaburi,
yang lahir pada tahun 419 H/1028M dan wafat pada tahun 478H/1085 M), bahkan
maju selangkah lagi ke depan mendekati Mu’tazilah dalam kaitannya denga
perbuatan manusai. Dalam bukunya al-Irsyad dan Luma’ul-Adillah, di samping ia
menekankan ta’wil (interpretasi) terhadap ayat-ayat Tuhan yang bersifat
tajjassun atau antromorphist. Al-Juwaini tampaknya sependapat dengan Mu’tazilah
untuk mentakwilkan ayat-ayat demikian itu. Selain itu ia menulis bahwa manusia
tidak terpaksa dalam mewujudkan perbuatannya dan bahwa manusia berkuasa atas
perbuatannya. Ini berarti bahwa manusia punya daya sendiri dalam perbuatannya. Ahmad Amin sebagaimana
dikutip oleh Harun Nasution memposisikan al-Juwaini sebagai tokoh Asy’ariyah
yang kembali dengan melalui jalan berkelok kepada ajaran Mu’tazilah. Bahkah
Montgomery Watt menyatakan abahwa al-Juwaini telah bergeser ke arah
posisi Mu’tazilah. Al-Ghazaliy, sebagai tokoh
ketiga dari al-Asy’ariyah, dianggap sebagai revitalisator dari konsep Asy’ari.
Nyaris tidak ada yang baru dari al-Asy’ari sebagaimana pendahulunya
(al-Baqillani dan Juwaini). Dari Al-Ghazali lah, ajaran Asy’ari berkembang
pesat merasuk ke lapisan-lapisan masyarakat dunia Islam, sebagai seorang
teolog yang mahir memainkan pedang filsafat dan akhirnya dikenal sebagai
pendekar rohani dan seorang sufi yang alim. Menurut
al-Ghazali, Tuhan tidak memiliki kewajiban-kewajiban. Ia tidak wajib
menciptakan makhluk dan karenanya tidak wajib pula membuat syari’at dan
memberikan taklif. Oleh karena itu, tidaklah ia wajib memberikan pahala kepada
hamba-hamba-Nya yang taat sebagaimana Ia tidak wajib berbuat baik kepada
hamba-hamba-Nya. Seterusnya menurut al-Ghazaliy, Tuhan boleh saja membebankan
sesuatu yang tidak bisa terpikul oleh manusia (ta’lif ma la yuthaq),
karena taklif sendiri merupakan hak prerogatif Allah. Dari dua tokoh
Asy’ariyah, Al-Asy’ari pendiri dan Al-Ghazaliy penyebar yang efektif, memandang
bahwa Tuhan memiliki kehendak dan kekuasaan mutlak. Tuhan dimetaforakan sebagai
raja absulot yang tidak terkait kepda dan apapun, tidak terikat kepada
janji-janjiNya, kepada hukum-hukum dan norma-norma keadilan (menurut ukuran
manusia), dan seterusnya. Pemikiran-pemikiran
Asy’ariyah dipelajari pertama melalui karya-karaya Imam al-Ghazaliy (450-505
H/1058-1111M), seorang tokoh Asy’ariyah, murid al-Juwaini, yang kembali
mengulang pokok-pokok pendapat Al-Asy’ari. Pemikiran Asy’ariyah yang serupa
dengan pemikiran Al-Ghazaliy juga dipopulerkan oleh al-Sanusi.
Pemikiran-pemikiran teologis al-Ghazaliy yang tercantum dalam Ihya’u
Ulumiddin yang sejalan dengan pemikiran Al-Asyari di antaranya adalah
tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, tentang dapatnya Tuhan dilihat oleh Manusia
di akhirat, dan tentang mungkinnya Tuhan membebani Manusia manusia dengan
kewajiban-kewajiban yang tidak mampu dipikulnya. Dari kitab-kitab ini, lahir
buku-buku kecil baik berupa matan ataupun syarah yang sejalan dengan padangan
kedua tokoh yang disebutkan di atas.
3.
Tentang Hukum Kausalitas
Perkembangan sains
bukan sekadar persoalan kapital melainkan juga persoalan teologis. Persisnya,
efek dari pandangan teologi. Teologi
merupakan bagian utama dari pandangan dunia (world view) yang melukiskan kaitan
antara Sang Pencipta dan yang dicipta. Teologi atau ilmu kalam yang diajarkan
di dunia Islam termasuk Indonesia adalah aliran Asy'ariyah atau sering disebut
sebagai ahl sunnah wal jamaah. Padahal pandangan Asy'ariyah cenderung
berseberangan dengan landasan sains yang disebutkan di atas. Aliran kalam lain
yaitu Mu'tazilah cenderung berpandangan rasional liberal. Aliran ini
berpandangan bahwa alam bahkan Tuhan sendiri terikat oleh hukum alam yang tidak
berubah.
Mu'tazilah berpandangan setiap benda mempunyai nature-nya sendiri, menimbulkan efek tertentu, dan tidak dapat menghasilkan efek lain. Api tidak menghasilkan sesuatu kecuali panas, dan es tidak menghasilkan sesuatu kecuali dingin. Dan, efek yang ditimbulkan oleh setiap benda bukan perbuatan Tuhan. Keseragaman peristiwa alam itulah yang dikenal sebagai hukum kausalitas. Abu Hasan Asy'ari yang mulanya pengikut Mu'tazilah tidak setuju ide nature dan efeknya yang khas.
Mu'tazilah berpandangan setiap benda mempunyai nature-nya sendiri, menimbulkan efek tertentu, dan tidak dapat menghasilkan efek lain. Api tidak menghasilkan sesuatu kecuali panas, dan es tidak menghasilkan sesuatu kecuali dingin. Dan, efek yang ditimbulkan oleh setiap benda bukan perbuatan Tuhan. Keseragaman peristiwa alam itulah yang dikenal sebagai hukum kausalitas. Abu Hasan Asy'ari yang mulanya pengikut Mu'tazilah tidak setuju ide nature dan efeknya yang khas.
Api tidak
mempunyai sifat panas dan daya bakar, buktinya nabi Ibrahim tidak hangus saat
dibakar. Asy'ariyah juga menolak kausalitas dan menurutnya keseragaman
peristiwa alamiah hanya penampakan dan tidak nyata dalam arti tidak memiliki
eksistensi objektif. Sebab akibat tidak lebih dari sekadar konstruksi mental
atau kebiasaan dalam pikiran. Asy'ariyah juga menolak pandangan Mu'tazilah
tentang kehendak bebas dan daya manusia. Ide ini dipahami Asy'ariyah sebagai
adanya pencipta (daya) selain Tuhan yang pada gilirannya juga bermakna manusia
tidak lagi berhajat kepada Tuhan.
Mengenai
perbuatan manusia, agar tidak seperti Mu'tazilah tetapi juga tidak jatuh pada
pandangan jabbariyah Asy'ariyah memperkenalkan ide al-kasb (perolehan). Al-kasb
merupakan perbuatan yang terletak di dalam lingkungan daya yang diciptakan, dan
diwujudkan dengan perantara daya yang diciptakan. Dengan demikian daya manusia
turut serta dalam perwujudan manusia, karenanya manusia tidak sepenuhnya pasif.
Konsep ini cukup sulit dipahami orang kebanyakan dan simplifikasinya tetap
membawa pada ide fatalistik.
Asy'ariyah
memang berangkat dari aksioma superioritas Tuhan. Kausalitas hanya akan
menurunkan peran dan derajat kesakralan Tuhan. Sikap ekstrem ini, menurut
perenialis Frithjof Schoun membawa pada paradoks dan absurditas. Menjadi hampa
makna dan absurd ketika Tuhan menjanjikan surga tetapi Dia dengan sewenang-wenang
boleh melanggarnya sebagaimana ide Asy'ariyah. Schoun juga memperlihatkan
argumen penolakan Asy'ariyah pada nature segala sesuatu misalnya api yang panas
dan membakar tertolak. Seandainya api tidak mempunyai nature demikian maka
Tuhan tidak akan memerintah api menjadi dingin.
قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَىٰ
إِبْرَاهِيمَ
Kami berfirman: "Hai api
menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim".(QS. Al
Anbiyaa:69).[4]
KESIMPULAN
·
Asy’ariyah berasal dari nama tokoh pendirinya Abu al-Hasan
Ali ibn Ismail al-Asy’ari, lahir di Basrah 260 H/873 M dan wafad di Baghdad 324
H/935 M. pada mulanya ia adalah murid Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab
al-Jubbai, seorang pemuka terkenal Mu’tazilah. Tapi ketika berumur 40 tahun, ia
menyatakan diri meninggalkan ajaran Mu’tazilah
·
Tokoh-tokoh Al-Asy’ariyah:
1. Ibnu Qasim al-Baqillani
2.
Abdul Malik al-Juwaini al-Naisaburi
3.
Ahmad Amin
4.
Al-Ghazaliy
·
Asy'ariyah juga menolak kausalitas dan menurutnya keseragaman
peristiwa alamiah hanya penampakan dan tidak nyata dalam arti tidak memiliki
eksistensi objektif. Sebab akibat tidak lebih dari sekadar konstruksi mental
atau kebiasaan dalam pikiran. Asy'ariyah juga menolak pandangan Mu'tazilah
tentang kehendak bebas dan daya manusia. Ide ini dipahami Asy'ariyah sebagai
adanya pencipta (daya) selain Tuhan yang pada gilirannya juga bermakna manusia
tidak lagi berhajat kepada Tuhan.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Ghifari, Aul. Blogspot.Com
Anwar Rohison Rozakdan, Abdur. Ilmu kalam. Bandung: Pustaka Setia,2010
Hanafi, A. Pengantar
Teologi Islam. Jakarta: Pustaka Husna Baru, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar