Rabu, 16 November 2016

Asy’ariyah

BAB I
PENDAHULUAN

I.     LATAR BELAKANG
Menurut Harun Nasution, bangsa Arab yang pada waktu itu bersifat serba sederhana dan jauh dari pengetahuan, terpaksa menyesuaikan hidup mereka dengan suasana padang pasir, dengan panasnya yang terik serta tanah dan gunungnya gundul. dalam dunia yang demikian , mereka tidak banyak melihat jalan untuk merubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari mereka banyak tergantung pada kehendak natur. Hal ini membawa mereka pada sikap fatalistis,
Aliran dari Khowarij dan Murjiah mengemukakan pendapatnya tentang posisi dosa besar. Mu’tazilah yang memposisikan tengah-tengah antara mukmin dan kafir. Namun, banyak pandangan Mu’tazilah yang belum dirumuskan, sehingga muncullah aliran Asy’ariyah. Dan pada makalah ini akan kami bahas tentang aliran Asy’ariyah.

II. RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian Asy’ariyah
2.      Tokoh-tokoh dan Pemikirannya
3.      Tentang Hukum Kausalitas










BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Asy’ariyah
Asy’ariyah berasal dari nama tokoh pendirinya Abu al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy’ari, lahir di Basrah 260 H/873 M dan wafad di Baghdad 324 H/935 M. pada mulanya ia adalah murid Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubbai, seorang pemuka terkenal Mu’tazilah. Tapi ketika berumur 40 tahun, ia menyatakan diri meninggalkan ajaran Mu’tazilah.[1]
Setelah keluar dari Mu’tazilah, Al-Asyari meletakkan dasar-dasar bagi suatu madzhab baru dengan mengambil posisi antara ekstrem rasionalis (Mu’tazilah) yang mengakui keunggulan akal dan menimbang semua pernyataan, kepercayaan dan dogma agama melalui neraca akal dan golongan ektrem tekstualis (hanya berdasar pada teks-teks suci dengan pemahaman harfiah). Karena mengambil jalan tengah, sehingga perumusan dogma Al-Asyari pada intinya menyuguhkan suatu usaha untuk membuat sintesa antara pandangan ortodoks yang waktu itu belum dirumuskan, dengan pandangan Mu’tazilah. Namun, perumusan Al-Asy’ari kadang merupakan reaksi atas Mu’tazilah. Karenanya, hasilnya setengah sintesa setengah reaksi.
Paham Asy’ariyah ini dalam sejarah tercatat sebagai satu-satunya paham yang paling luas menyebar di dunia Islam. Sehingga bisa dikatakan bahwa Al-Asy’ari adalah seorang pemikir Islam klasik yang paling sukses. Adapun kesuksesan dari reformasi Al-Asy’ari ini dalam deretan perkembangan pemikiran Islam sebagai yang terpanjang, bukan saja karena karya-karya intelektual Al-Asy’ari, tetapi juga karena andil  dari tokoh-tokoh yang datang sesudahnya, dengan corak pemikirannya masing-masing telah mengembangkan dan memperkaya dukungan bagi paham teologi yang kemudian disebut dengan paham Asy’ariyah.[2]

Doktrin-doktrin al-Asy’ari yang terpenting adalah :
Pertama, Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Perbedaan pendapat di kalangan mutakalimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak, ia berhadapan dengan kelompok sifatiah (pemberi sifat), kelompok Mujassimah (antropomorsis), dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam AlQur’an dan Sunnah dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Di lain pihak, ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain essensi-Nya. Tangan, kaki, telinga Allah, ‘arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.                                                                                                           Menghadapi dua kelompok yang berbeda tersebut, Al-Asy’ari berpendapat , melainkan secara simbolis (kontra dengan kelompok sifatiah). Selanjutnya ia berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi-sejauh menyangkut realitasnya (hakikah)- tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian tidak berbeda dengan-Nya.                                                                Kedua, Kekuasaan Tuhan atas perbuatan manusia. Al-Asy’ari memiliki paham dan keyakinan yang ditafsirkan banyak kalangan condong ke paham Jabariyah mengenai kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan. Dia berpandangan bahwa kehendak Tuhan tidak tunduk kepada siapapun. Apa saja yang dikehendaki Tuhan, itulah yang ada, dan apa yang ada, itulah yang dikehendakinya.                                                                                                    Di atas Tuhan tidak ada sesuatu apapun yang dapat membuat hukum dan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh diperbuat Tuhan, karena Dia adalah Raja yang Maha Memaksa, bagiNya tidak ada batasan apapun yang bisa membatasiNya. Asy’ariyah mendasarkan pandangannya atas beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya adalah :
والله خلقكم وماتعملون (الصافات : 26)
 Ayat ini mengandung arti : “Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu”. Maka perbuatan manusia diciptakan Allah. Begitu pula dengan ayat yang lain:
وما تشا ؤون الاأن يشاءالله (الانسان : 30)
Ayat di atas berimplikasi bahwa kehendak manusia adalah satu dengan kehendak Tuhan, dan bahwa kehendak yang ada dalam diri manusia, sebenarnya tidak lain adalah kehendak Tuhan.                                                      Selanjutnya untuk mengambarkan hubungan antara perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan, al-Asy’ari mengemukakan teori “kasb” yang oleh kebanyakan ahli ilmu kalam dirasakan sulit untuk dipahami. Asy’ari menjelaskan arti kasb sebagai sesuatu yang terjadi dari muktasib(yang memperoleh) dengan perantaraan daya yang diciptakan (qudrah haditsah). Makna kasb di sini bererti perolehan. Dalam Maqalat al-Islamiyyyin disebutkan kata iktishab memberi makna bahwa sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diccipatkan dan dengan demikian menjadi kasb (perolehan) bagi orang yang dari dayanya perbuatan itu timbul.                      Pada prinsipnya Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh Allah. Daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya, tetapi yang berlaku adalah bahwa Allah menciptakan perbuatan untuk menusia  dan menciptakan pula pada diri manusia daya untuk melahirkan perbuatan-perbuatan tersebut. Jadi perbuatan-perbuatan di sini adalah ciptaan Allah dan merupakan kasb (perolehan) bagi manusia. Dengan begitu kasb mempunyai pengertian  penyertaan perbuatan  dengan daya manusia yang hadits. Dan ini berimplikasi bahwa perbuata manusia  dibarengi dengan daya dan kehendakNya dan bukan atas daya dan kehendak manusia itu sendiri.                                                                                 Dari sini dapat disimpulkan bahwa fa’il (pelaku) sebenarnya suatu perbuatan manusia adalah Allah dan manusia merupakan wadah bagi  fi’il (perbuatan) yang disebut kasb. Namun demikian karena dia juga berdaya  dan mempunyai kehendak yang ditujukan untuk mewujudkan kasb ini, maka bisa saja menisbastkan perbuatan kepada manusia. Hanya saja, yang perlu dicermati adalah adanya pandangan bahwa daya dan kehendak itu tidak berpotensi untuk menjadi pencipta atau pelaku. Ia hanya merupakan penyerta bagi perbuatan Tuhan dan wujudnya menjadi kasb. Oleh karena itu tidak bisa tidak, perbuatan manusia harus diletakkan dalam kerangka kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan.                                  Tampaknya, Aliran Asy’ariyah muncul dengan teori kasbnya untuk menengahi pertentangan antara Qadariyah dan Jabariyah dengan menyatakan bahwa manusia wajib berusaha, namun disandarkan bahwa usaha manusia itu tidak dapat berpengaruh terhadap jalan kehidupannya yang telah ditentukan Tuhan. Namun demikian, ini tidak selalu harus diinterpretasikan sebagai suatu tanda fatalistis. Mungkin saja yang dimaksudkan oleh pernyataan tersebut ialah apapun yang dilakukan manusisa tidak akan melampaui ketentuan sunnatullah, yaitu hukum alam ciptaan Tuhan dan hal ini hanya tepat untuk analisis tingkat Tuhan, tetapi tidak tepat untuk analisis tingkat manusia. Bila dibawa ke pikiran manusia, maka faham yang demikian itu  mungkin akan berakhir dengan anggapan  bahwa konsep Asy’ariyah tidak percaya  pada hukum alam dan kausalitas. Apalagi di kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, dikenalkan adanya rukun iman yang ke-6, yaitu percaya kepada qadla dan qadar Tuhan, hal ini menambah anggapan bahwa paham Asy’ariyah adalah falatistik dan Jabariyah.                                                                                                       Ketiga, akal dan wahyu serta kreteria baik dan buruk. Walaupun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, keduanya berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan menggunakan rasio.              Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazilah berdasarkan pada rasio.   Keempat, qadimnya al-Qur’an. Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya al-Qur’an, yaitu pandangan Mu’tazilah bahwa Al-Qur’an diciptakan (makhluk) sehingga tidak qadim dan pandangan mazhab Hambali  dan Zahiriah yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Bahkan Zahiriah berpendapat bahwa semua huruf, kata, dan bunyi al-Qur’an adalah  qadim. Untuk mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, dalam teori Al-Asy’ari al-Qur’an bukan makhluk sebagaimana dalam konsep teologi Mu’tazilah, melainkan kalam Allah yang qadim. al-Qur’an yang qadim itu  tidak mempunyai huruf dan suara.                   Kelima, melihat Allah. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodok ekstrim, terutama Zahiriah yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan Allah bersemayam di Arsy. Selain itu, Al-Asy’ari  juga tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari rukyatullah (melihat Allah) di akhirat. Al-Asy’ari yakin dapat bahwa Alah dapat di lihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi manakala Allah sendiri yang menyebabkan Dia dapat di lihat atau bilamana Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.    Keenam, keadilan. Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu Adil. Namun mereka berbeda dalam cara pandang makna keadilan Tuhan. Al-Asyari tidak sependapat dengan ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga  Ia harus menyiksa orang yang salah dan berpendapat bahwa Allah tidak memiliki keharusan apapun karena Ia adalah Penguasa Mutlak. Jika Mu’tazilah  mengartikan  keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.                                                                                  Ketujuh, kedudukan orang berdosa. Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan iman merupakan lawan kufr, predikat seseorang haruslah satu di antaranya. Jika tidak mukmin dia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.[3]
2.     Perkembangan Aliran Asy’ariyah dan Tokoh-Tokohnya
Al-Asy’ari berupaya mengambil jalan tengah antara dua kubu yang dipandangnya menjunjung akal secara berlebihan (rasionalis) dan aliran tekstualis. Kita melihat Al-Asy’ari mendasarkan ajaran-ajarannya pada dalil naqli dan  dan dalil aqli. Ia menetapkan apa yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits, menyangkut persoalan aqidah, seperti sifat-sifat  Allah, hari akhirat, malaikat, hisab, siksa, pahala, kemudian mendapatkan dalil akal  dan penjelasan logis, dan berdalil dengannya untuk kebenaran yang datang dari al-Qur’an dan Hadis itu. Ia tidak menggunakan akal sebagai hakim atas nash-nash dengan cara mentakwilkan ayat, namun menggunakan  akal untuk membantu makna apa yan dikehendaki oleh zhahir nash-nash tersebut.                                                                                     Setelah Imam Al-Asy’ari meninggal, ajarannya mengalami perkembangan dan kemajuan. Tidak seperti pada masa awal pertumbuhannya, pada perkembangan selanjutnya tampak lebih mendahulukan penafsiran akal daripada nash. Ada dua tokoh Asy’ariyah setelah al-Asy’ari sendiri yang berusaha untuk merasionalkan pandangan-pandangan al-Asy’ariyah sehubungan dengan perbuatan manusia. Yang pertama adalah Ibnu Qasim al-Baqillani, yang dilahirkan di Bashrah dan meninggal di Bagdad sekitar tahun 403 H /1013 M dan yang kedua adalah Abdul Malik al-Juwaini al-Naisaburi (419 H/1028 M-478H/1085 M).                 Al-Baqillani dianggap melangkah lebih jauh dari Asy’ari. Kalau Asy’ari menganggap perbuatan manusia itu diciptakan Tuhan seluruhnya, sehinga daya yang diciptakan Tuhan pada manusia sama sekali tidak dipahami sebagai daya yang efektif, maka al-Baqilani berpendapat, manusia mempunyai peranan yang efektif dalam mewujudkan perbuatannya. Ia menggunakan istilah genus atau al-Jinsu untuk semua gerak perbuatan yang diciptakan Tuhan dan memaki istilah espece atau al-Nau’u untuk gerakan yang mengambil bentuk, seperti berdiri, duduk, berjalan, berbaring dan sebagainyayang merupakan ciptaan manusia sendiri. Dengan kata lain, gerak mutlak diciptakan Tuhan, sedangkan gerak dalam contoh berdiri, duduk dan semacamnya merupakan perbuatan yang efektif dan diciptakan oleh manusia dan inilah yang dimaksudnya sebagai kasb. Al-Baqillani juga membedakan  antara khlq dan kasb. Khlaq merupakan penciptaan perbuatan dari tiada menjadi ada, sedangkan kasb adalah penciptaan perbuatan dari iradat yang sudah diciptakan Allah. Khalq adalah perbuatan Allah, sementara kasb adalah perbuatan manusia. Dengan demikian, kasb dalam pemahaman al-Baqillani berperan dan memberi bekas secara efektif bagi perbuatan-perbuatan manusia, sekalipun berasal dari daya yang diciptakan Tuhan.                                                                                                                        Abdul Malik al-Juwaini al-Naisaburi, yang lahir pada tahun 419 H/1028M dan wafat pada tahun 478H/1085 M), bahkan maju selangkah lagi ke depan mendekati Mu’tazilah dalam kaitannya denga perbuatan manusai. Dalam bukunya al-Irsyad dan Luma’ul-Adillah, di samping ia menekankan ta’wil (interpretasi) terhadap ayat-ayat Tuhan yang bersifat tajjassun atau antromorphist. Al-Juwaini tampaknya sependapat dengan Mu’tazilah untuk mentakwilkan ayat-ayat demikian itu. Selain itu ia menulis bahwa manusia tidak terpaksa dalam mewujudkan perbuatannya dan bahwa manusia berkuasa atas perbuatannya. Ini berarti bahwa manusia punya daya sendiri dalam perbuatannya.                                                                                           Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution memposisikan al-Juwaini sebagai tokoh Asy’ariyah yang kembali dengan melalui jalan berkelok kepada ajaran Mu’tazilah. Bahkah Montgomery Watt menyatakan abahwa al-Juwaini telah bergeser  ke arah posisi Mu’tazilah.             Al-Ghazaliy, sebagai tokoh ketiga dari al-Asy’ariyah, dianggap sebagai revitalisator dari konsep Asy’ari. Nyaris tidak ada yang baru dari al-Asy’ari sebagaimana pendahulunya (al-Baqillani dan Juwaini). Dari Al-Ghazali lah, ajaran Asy’ari berkembang pesat merasuk ke lapisan-lapisan masyarakat dunia Islam, sebagai  seorang teolog yang mahir memainkan pedang filsafat dan akhirnya dikenal sebagai pendekar rohani dan seorang sufi yang alim.                                                                                                  Menurut al-Ghazali, Tuhan tidak memiliki kewajiban-kewajiban. Ia tidak wajib menciptakan makhluk dan karenanya tidak wajib pula membuat syari’at dan memberikan taklif. Oleh karena itu, tidaklah ia wajib memberikan pahala kepada hamba-hamba-Nya yang taat sebagaimana Ia tidak wajib berbuat baik kepada hamba-hamba-Nya. Seterusnya menurut al-Ghazaliy, Tuhan boleh saja membebankan sesuatu yang tidak bisa terpikul oleh  manusia (ta’lif ma la yuthaq), karena taklif sendiri merupakan hak prerogatif Allah.                                                                                       Dari dua tokoh Asy’ariyah, Al-Asy’ari pendiri dan Al-Ghazaliy penyebar yang efektif, memandang bahwa Tuhan memiliki kehendak dan kekuasaan mutlak. Tuhan dimetaforakan sebagai raja absulot yang tidak terkait kepda dan apapun, tidak terikat kepada janji-janjiNya, kepada hukum-hukum dan norma-norma keadilan (menurut ukuran manusia), dan seterusnya. Pemikiran-pemikiran Asy’ariyah dipelajari pertama melalui karya-karaya Imam al-Ghazaliy (450-505 H/1058-1111M), seorang tokoh Asy’ariyah, murid al-Juwaini, yang kembali mengulang pokok-pokok pendapat Al-Asy’ari. Pemikiran Asy’ariyah yang serupa dengan pemikiran Al-Ghazaliy juga dipopulerkan oleh al-Sanusi. Pemikiran-pemikiran teologis al-Ghazaliy yang tercantum dalam Ihya’u Ulumiddin yang sejalan dengan pemikiran Al-Asyari di antaranya adalah tentang Allah dan sifat-sifat-Nya, tentang dapatnya Tuhan dilihat oleh Manusia di akhirat, dan tentang mungkinnya Tuhan membebani  Manusia manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tidak mampu dipikulnya. Dari kitab-kitab ini, lahir buku-buku kecil baik berupa matan ataupun syarah yang sejalan dengan padangan kedua tokoh yang disebutkan di atas.
3.     Tentang Hukum Kausalitas
Perkembangan sains bukan sekadar persoalan kapital melainkan juga persoalan teologis. Persisnya, efek dari pandangan teologi. Teologi merupakan bagian utama dari pandangan dunia (world view) yang melukiskan kaitan antara Sang Pencipta dan yang dicipta. Teologi atau ilmu kalam yang diajarkan di dunia Islam termasuk Indonesia adalah aliran Asy'ariyah atau sering disebut sebagai ahl sunnah wal jamaah. Padahal pandangan Asy'ariyah cenderung berseberangan dengan landasan sains yang disebutkan di atas. Aliran kalam lain yaitu Mu'tazilah cenderung berpandangan rasional liberal. Aliran ini berpandangan bahwa alam bahkan Tuhan sendiri terikat oleh hukum alam yang tidak berubah.
            Mu'tazilah berpandangan setiap benda mempunyai nature-nya sendiri, menimbulkan efek tertentu, dan tidak dapat menghasilkan efek lain. Api tidak menghasilkan sesuatu kecuali panas, dan es tidak menghasilkan sesuatu kecuali dingin. Dan, efek yang ditimbulkan oleh setiap benda bukan perbuatan Tuhan. Keseragaman peristiwa alam itulah yang dikenal sebagai hukum kausalitas. Abu Hasan Asy'ari yang mulanya pengikut Mu'tazilah tidak setuju ide nature dan efeknya yang khas.
            Api tidak mempunyai sifat panas dan daya bakar, buktinya nabi Ibrahim tidak hangus saat dibakar. Asy'ariyah juga menolak kausalitas dan menurutnya keseragaman peristiwa alamiah hanya penampakan dan tidak nyata dalam arti tidak memiliki eksistensi objektif. Sebab akibat tidak lebih dari sekadar konstruksi mental atau kebiasaan dalam pikiran. Asy'ariyah juga menolak pandangan Mu'tazilah tentang kehendak bebas dan daya manusia. Ide ini dipahami Asy'ariyah sebagai adanya pencipta (daya) selain Tuhan yang pada gilirannya juga bermakna manusia tidak lagi berhajat kepada Tuhan.
            Mengenai perbuatan manusia, agar tidak seperti Mu'tazilah tetapi juga tidak jatuh pada pandangan jabbariyah Asy'ariyah memperkenalkan ide al-kasb (perolehan). Al-kasb merupakan perbuatan yang terletak di dalam lingkungan daya yang diciptakan, dan diwujudkan dengan perantara daya yang diciptakan. Dengan demikian daya manusia turut serta dalam perwujudan manusia, karenanya manusia tidak sepenuhnya pasif. Konsep ini cukup sulit dipahami orang kebanyakan dan simplifikasinya tetap membawa pada ide fatalistik.
            Asy'ariyah memang berangkat dari aksioma superioritas Tuhan. Kausalitas hanya akan menurunkan peran dan derajat kesakralan Tuhan. Sikap ekstrem ini, menurut perenialis Frithjof Schoun membawa pada paradoks dan absurditas. Menjadi hampa makna dan absurd ketika Tuhan menjanjikan surga tetapi Dia dengan sewenang-wenang boleh melanggarnya sebagaimana ide Asy'ariyah. Schoun juga memperlihatkan argumen penolakan Asy'ariyah pada nature segala sesuatu misalnya api yang panas dan membakar tertolak. Seandainya api tidak mempunyai nature demikian maka Tuhan tidak akan memerintah api menjadi dingin.

قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ

Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim".(QS. Al Anbiyaa:69).[4]























KESIMPULAN

·         Asy’ariyah berasal dari nama tokoh pendirinya Abu al-Hasan Ali ibn Ismail al-Asy’ari, lahir di Basrah 260 H/873 M dan wafad di Baghdad 324 H/935 M. pada mulanya ia adalah murid Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubbai, seorang pemuka terkenal Mu’tazilah. Tapi ketika berumur 40 tahun, ia menyatakan diri meninggalkan ajaran Mu’tazilah
·         Tokoh-tokoh Al-Asy’ariyah:
1.      Ibnu Qasim al-Baqillani
2.      Abdul Malik al-Juwaini al-Naisaburi
3.      Ahmad Amin
4.      Al-Ghazaliy
·         Asy'ariyah juga menolak kausalitas dan menurutnya keseragaman peristiwa alamiah hanya penampakan dan tidak nyata dalam arti tidak memiliki eksistensi objektif. Sebab akibat tidak lebih dari sekadar konstruksi mental atau kebiasaan dalam pikiran. Asy'ariyah juga menolak pandangan Mu'tazilah tentang kehendak bebas dan daya manusia. Ide ini dipahami Asy'ariyah sebagai adanya pencipta (daya) selain Tuhan yang pada gilirannya juga bermakna manusia tidak lagi berhajat kepada Tuhan.











DAFTAR PUSTAKA
 Al-Ghifari, Aul. Blogspot.Com
 Anwar Rohison Rozakdan, Abdur. Ilmu kalam. Bandung: Pustaka Setia,2010
 Hanafi, A. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka Husna Baru, 2003.



 [1] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka Husna Baru, 2003), hal. 127
 [2] Abdur Rozakdan Rohison Anwar, Ilmu Kalam (bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.120.
 [3] Ibid, hlm.122

Tidak ada komentar:

Posting Komentar